Aku juga ingin kuliah! Itulah
kalimat yang ingin aku teriakan di hadapan mereka, namun hanya hati yang bisa
bicara, sedangkan mulut terkunci rapat. Siang itu aku dan teman-temanku sedang
berkumpu di pinggir lapangan upacara. Tidak banyak kegiatan. Hanya
bercakap-cakap seperti biasanya.. Kami asyik merangkai untaian rencana-rencana
yang akan kami gapai di masa depan. Namun saat itu ada hal yang sangat membekas
dalam pikiranku. Seorang temanku membuka
pertanyaan “Nanti kalian mau kuliah kemana?” satu persatu temanku ditanya,
mereka pun menjawab dengan berbagai pilihan universitas yang diimpikannya.
Namun ketika aku sudah mempersiapkan jawaban terbaik, ternyata pertanyaan itu
tidak menghampiriku. Ya. Hanya aku. Sekarang aku yang mulai bertanya-tanya.
Mengapa dia tidak bertanya padaku juga? Padahal aku juga sama seperti mereka
yang ingin merasakan sensasi duduk di bangku kuliah. Apa karena aku hanya
terlahir dari keluarga sederhana, yang menurutnya tidak akan mampu untuk
membayar uang kuliah? Atau dia lupa bahwa ada aku disitu? Atau dia tidak
melihatku? Tapi mustahil rasanya jika dia tidak melihatku, sedangkan badanku
memiliki porsi lebih besar dibandingkan yang lain. Tapi sudahlah, apapun alasannya
aku tidak ingin tahu. Aku tidak ingin menambah dosa dengan berburuk sangka
kepada temanku sendiri.
Aku menceritakan
kejadian itu kepada ibuku. Ibuku merespon biasa saja. Namun ada kata-katanya
yang hampir mematahkan semangatku. “Tos wéh,
tong waka mikiran kuliah, ayeunamah pan nembé ogé badé lebet ka SMA. Tapi mamah
mah sanggupna ogé ngabiayaan dugi ka SMA. Ari kuliah mah da artosna gé timana
atuh? Mamah ngan icalan ganas, shella tiasa emam sareng sakola gé tos
Alhamdulillah. Mening ogé atos lulus
SMA mah dambel wéh.”
Terjemahan: “Udah,
jangan dulu mikirin kuliah, baru juga mau masuk SMA. Tapi mamah hanya sanggup
membiayai sampai SMA saja, kalau kuliah mau uang dari mana? Mamah cuma jualan
nanas, dapet uang buat kamu makan sama biaya sampai SMA aja sudah Alhamdulillah.
Sebaiknya kalau udah lulus SMA langsung kerja aja.”
Plak! Ku bayangkan ada
yang menampar pipiku dan berkata ”sadar shel!” Memang apa yang dikatakan ibuku ada benarnya. Sekarang
aku harus berusaha sedikit melupakan impianku tentang kuliah, untuk menjadi
guru dan mengajar di sekolah. Namun haram bagiku untuk berhenti berusaha.Karena
tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Segalanya bisa diusahakan. Jika kita
bersungguh-sungguh, keberhasilan akan menghampiri. Man Jadda Wajada!